Jumat, 12 Oktober 2018

Jimat



Jon Balekon terkesima dengan  simpanan Mas Kondil, teman akrabnya.  Sebuah  cincin yang  tidak diketahui apa sebutannya karena warna dan bentuknya aneh.

Kata  Mas Kondil cincin itu  berharga Rp 5 juta.  "Lho koq mahal, ya ", tanya Jon.

" Itulah jimat, harganya bisa tinggi, bisa murah. Tergantung khasiatnya " Jawab Mas Kondil.

"Oo....begitu? Koq bisa  berkhasiat sehingga disebut jimat ?" Tanya Jon Balekon berpura-pura heran sebagai taktik mencari informasi.

Mas Kondil  menjawab bahwa cincin jimat miliknya mempunyai khasiat penambah kharisma.  Dengan kharisma itu, pencopet atau garong tak akan berani mengganggu, lawan jenis akan terkesima dan tunduk.  " Mengapa  berkhasiat ?  Di dalam cincin ada penjaganya !!" Katanya.

Mas Kondil  selanjutnya menjelaskan bahwa jimat  itu bermacam-macam.  Ada yang berupa keris, ada yang berupa kertas bertuliskan huruf yang sukar dimengerti, ada yang berupa kitab super  kecil yang dikalungkan  di leher.  Yang jelas, katanya, jimat adalah benda yang bisa menjadi sarana menolong. 

"Karena ada makhluk yang menjaga, maka perlu makanan, perlu dimandikan.  Kalau tidak diberi makanan atau tidak dimandikan, ia akan pergi.  Bahkan bisa marah berat kepada si pemegang atau keluarganya.  Jadi ada syaratnya".  Kata Mas Kondil. 

Mendengar itu Jon Balekon tersenyum.  Ia sebenarnya juga tahu - karena ia memang suka mencari tahu - bahwa jimat itu  tidak hanya barang yang katanya ada penunggunya.  Satpam penjaga rumah juga  jimat bagi 'orang berada' untuk menangkal tamu tak diundang. Mobil BMW, Mercy dan Volvo keluaran terakhir seringkali juga merupakan jimat bagi pengusaha yang transaksi bisnisnya puluhan milyar. Punya kenalan pejabat kelas kakap juga sering dianggap sebagai jimat untuk memperlancar banyak urusan. 

Jon Balekon ingat pesan kakeknya bahwa agar bisa hidup selamat sejahtera, setiap orang memang memerlukan jimat dan itu sederhana saja. Jangan punya musuh, jangan bikin hutang, jangan bikin susah orang. Bahkan sebaliknya, memberi dan membuat orang lain menjadi senang.  Minimal memberi senyum. Makin banyak orang yang dibuat senang, makin selamat makin sejahtera. 

Jon Balekon sedikit kaget saat Mas Kondil, sambil menyodorkan cincin kecil lainnya, berkata: "Jon ..ambil yang ini.  Gratis koq... Khasiatnya agar isteri tidak bawel "

Jon Balekon tersenyum lantas mengulurkan tangannya dan tidak lupa mengucapkan terima kasih.  Dalam hati ia menyebut bahwa benda itu bukan jimat. Justru yang menjadi jimat adalah “menerima pemberian” itu karena membuat Mas Kondil senang dan menganggap Jon Balekon sebagai sahabat. Dengan dianggap sebagai sahabat, mudah-mudahan ada kemudahan di waktu lain, kalau situasinya pas, untuk menjelaskan makna jimat kepada Mas Kondil. Tidak boleh dipaksakan sekarang. (030196/Jumat)/acc/20181112

Mandi Mencegah Gila


Mandi bagi hampir semua orang adalah suatu hal yang biasa.  Itu adalah urusan rutin dan karena itu, terutama bagi orang di daerah tropis, boleh dikatakan sudah menjadi kebiasaan untuk tiada hari tanpa  mandi.  Sebab tidak  mandi bagi orang tropis, badan menjadi tidak segar - bahkan mungkin bau - karena keringat seharian keluar.

Mandi,   jika sedikit dikaji, ternyata ada ceritanya.  Ada  yang kalau mandi "byar-byur". Air setengah bak mandi habis, membuat para pencinta lingkungan,  pecinta efisiensi, mengelus dada  dan  kadangkala sebal. Ada pula yang kalau mandi seperti “koboi” yang sangat hemat air.   Sedikit air tetapi kesegaran tetap diperoleh.

Masih  cerita tentang mandi. Banyak yang sedang mandi pikirannya kemana-mana. Entah ke kantor, entah ke bisnis dan  entah  kemana lagi.  Habis air banyak, tetapi ia tak menikmati mandi.   Adapula yang mandinya  lama, yang kalau di asrama menyebabkan  kawannya  yang  lain  menjadi tak sabaran.  Apalagi di pagi hari,  di kala tuntutan membuang hajad merupakan kebutuhan banyak orang. 

Konon   mandi  itu  ada  seninya.   Menurut  Dra  Psi   Sopongiro Akuwanita, akhli psikologi yang pernah ditemui oleh Jon  Balekon, ia mengimbau agar Jon benar-benar menikmati mandi.  Bukan  airnya yang banyak tetapi menggosok badannya yang benar. Maksudnya, setiap sentuhan atau  gosokan telapak tangan pada setiap  wilayah  kulit benar-benar dirasakan. Pikiran seratus  persen  dicurahkan  ke tangan dan ke kulit yang sedang digosok.  Pelan, dinikmati, bak raja yang sedang mandi sauna.

Kata  psikolog itu selanjutnya, dengan mandi  yang penuh  konsentrasi, manusia tercegah dari kemungkinan menjadi  gila.  "Lho lha koq  bisa  ?  " Tanya Jon Balekon heran.  "Ya bisa saja " Kata sang psikolog yang ubannya sudah separuh kepala itu.  Pada orang gila, kata sang psikolog, terjadi ketidaksinkronan antara pikiran  dan organ tubuh yang dikendalikan  oleh  pikiran itu.   Pikiran  menangkap  kesedihan sehingga seharusnya mulut menangis,  airmata keluar.  Tetapi karena tak terkendali,  mulut terbuka lebar, tertawa cekakakan.   Penyembuhan orang gila pada intinya  adalah mensinkronisasikan pikiran dengan organ  tubuhnya itu.  Nah, itulah manfaatnya bilamana mandi dilakukan dengan serius.

Penyakit  sejenis yang juga timbul akibat ketidaksinkronan pikiran dengan organ tubuh adalah  penyakit latah.  Pada saat kaget, mulut orang yang dihinggapi penyakit ini serta merta mengeluarkan respon yang tak terkendali, tanpa menyadari akibat baik-buruknya.   Anak-anak senang, orang-orang tertawa karena lucu.  Tetapi  bagaimanapun juga akan tetap memalukan,   terutama jika tidak pada tempatnya.  Penyembuhannya bagaimana ?  Sederhana saja.  Begitu kaget, tahan nafas sembari tutup mulut.

Demikian  pula dengan kasus orang terpeleset.  Ini juga bukti  bahwa  antara, mata,  kaki dan pikiran tidak  menyatu.  Bukankah  orang   yang berkonsentrasi sewaktu berjalan tak akan terpeleset ? 

Itu  cerita tentang mandi, gila, latah dan terpeleset, yang  pada intinya berkaitan dengan konsentrasi. Masih ada  cerita  lain lagi  yang juga berkaitan dengan konsentrasi, yaitu ketika makan, ketika hubungan seksual,  ketika bergaul, ketika bekerja, ketika sembahyang  dan ketika mengerjakan  sesuatu yang lain.  Kata psikolog Sopongiro, perlu serius dan perlu dinikmati.   Coba saja  rasakan kalau makan buru-buru, kalau bekerja buru-buru kalau...kalau.....buru-buru.

Jadi  segala  sesuatu  perlu  dinikmati,   perlu  serius.  Bukan terpaksa.   Sebab mengerjakan segala sesuatu dengan serius  tanpa terpaksa  adalah  sehat.  "Karena itu nikmatilah  mandi.   Dengan menikmati  mandi itu, kita belajar untuk tidak gila"   Kata sang psikolog. 

Jon Balekon tersenyum.  "Weleh..weleh..mandi saja ada ilmunya". " Terima kasih mbakyu Sopongiro.  Besok aku mulai mandi seperti koboi ! Air sedikit tetapi badan bersih dan pikiran sehat"  Kata Jon.



L050892a/acc/20181012

Rabu, 10 Oktober 2018

Kebun Binatang Besar


Coba tengok manusia makan. Macam-macam caranya.  Ada yang lembut,  sopan seperti raja atau minimal seperti orang yang pernah hidup di  keraton  atau paling tidak pernah pernah ikut  sekolah pengembangan pribadi. Ada yang makannya berkecap-kecap, bersuara seperti kuda.  Ada yang kalau makan terlihat serius. Tidak menengok ke kiri atau kanan dan mata memelototi makanan seperti takut kehilangan sesuatu.

Coba kalau pernah menonton film biru yang menyuguhkan adegan manusia yang sedang berhubungan badan. Ada yang meraung-raung, berdesah-desah, menggigit-gigit, seperti binatang.  Sementara itu dalam agama, dalam  tatakrama leluhur, dan  hal  ini yang dilakukan oleh orang bijak sampai  saat ini, proses itu dilakukan dengan lembut, mantap dan dimulai dengan doa. Mereka percaya bahwa kegiatan ini adalah suci dan sakral karena berpengaruh pada kualitas bayi manusia yang boleh jadi akan dilahirkannya.

Coba  lihat manusia yang sedang sakit perut.  Ada  yang  wajahnya tidak  kentara walaupun sakitnya menyengat tiada tara.   Ada  yang mulutnya  bilang  "aduuh" dengan wajah  cemberut  kesakitan  dan membingungkan orang yang berada di sekelilingnya.

Coba  lihat manusia yang sedang berderet di sepanjang trotoar  di bawah  halte bus.  Ada yang wajahnya seram seperti  mau  melahap orang.  Ada yang wajahnya lembut bak orang tidak berdosa.  Ada yang tersenyum  seperti  tidak  ada derita.   Ada yang berwajah  susah seperti bebannya berat.

Coba  tengok  manusia yang akan meninggalkan  dunia  menuju  alam baka. Macam-macam  caranya.  Ada yang lembut,  seperti  tidak ada bedanya  antara hidup dan mati.  Ada yang matanya melotot,  mulut berbusa  seperti  ayam.   Ada yang  matinya  di tempat  tidur, tersenyum  simpul.  Ada yang matinya mengerikan  terpotong-potong seperti rajangan ayam.

Coba lihat manusia di kota yang sedang bertegang leher.   Mungkin karena serempetan mobil  atau sebab lainnya.  Ada  yang  bilang "anjing", ada yang bilang "babi".  Tidak ada yang bilang  "manusia". Tetapi di sisi lain, ada orang yang memang sengaja menghindari “tarik-urat”, apalagi berkelahi. Bisa jadi karena takut atau ada kemungkinan lain karena memang sengaja mengalah. Pada pikirannya mungkin tertera kalimat nasehat : “Tidak bermanfaat berdebat, tidak ada untungnya berkelahi”.

Coba lihat arena adu tinju. Bogem, swing, jab, saling peluk, di antara peluh  dan keringat, tiada henti-hentinya datang dan pergi.  Taufik  Ismail, seorang penyair, pernah  prihatin tentang hal ini. Katanya, penonton bersorak-sorai seperti melihat adu ayam saja  sementara para penjudi dag-dig-dug menunggu hasilnya.

Coba  lihat di Afrika.  Kelaparan yang menyebabkan  rupa  manusia bukan  lagi rupa manusia.  Kurus kering, tulang  bersembulan  tidak bisa  ditutup  oleh  kulit dan daging yang  tipis  kurang  makan itu.  Kasihan.  Sementara yang membagikan makanan bergerak lincah penuh vitalitas karena tidak pernah terlambat makan.

Coba lihat orang yang mencari rejeki.  Ada yang “makan sana  makan sini”, serakah, tidak tahu baik-buruk.  Kata orang  seperti babi,  tidak tahu bersih dan kotor.  Sebaliknya ada  yang  pelan, mantap.  Merintis dari sedikit, dari kecil.  Tidak lupa “kiri kanan”. Maksudnya ia berusaha memperhatikan “baik-buruknya”.

Itulah  beberapa  cukilan tentang penampilan manusia  dalam kehidupannya sehari-hari.  Ada yang  seperti manusia.  Ada yang seperti  “binatang  yang  bisa bicara”.  Dan  oleh sebab itu dunia ini boleh diibaratkan sebagai kebun binatang besar. Jon Balekon tersenyum sendiri merenung tentang hal ini. 

"Mudah-mudahan aku bukan  binatang.  Dan untuk itu aku berusaha untuk tidak"  Kata hati Jon Balekon.

Jon  Balekon  pun  lantas  tertidur.   Ia  bermimpi   mengunjungi Kebun Binatang Ragunan.  Banyak sekali binatang di sana.   Memang pada yang postur tubuh dan wajahnya mirip dengan manusia.   Itulah monyet.  

"Apakah  kamu monyet seperti saya Jon ?  "  Tanya sang monyet.  

"Ah ya tidak to nyet.  Coba lihat saya tidak berbunyi nguk-nguk  seperti  kamu.   Coba  lihat  saya  bisa  bebas  tidak dikerangkeng  seperti kamu"  Jawab Jon Balekon lalu  pergi,  agak sebal dan tersinggung ditanya seperti itu. "Jon, jon,  kamu koq tersinggung sama monyet sih ?" Tanya hatinya yang lain.

Jon Balekon lalu pindah ke kandang kuda.  Kuda itu sedang makan dengan lahapnya.  Matanya terlihat melotot serius. Melihat Jon Balekon menghampiri,  sang  kuda  berhenti makan.  Sang kuda kemudian tersenyum, mengenalkan diri dan bertanya "Jon, saya ini kuda. Saya masuk ke kebun binatang ini karena saya lulus kontes kuda tampan se Jawa. Hei Jon, apakah kamu kalau makan seperti aku .... ?" 

Jon Balekon  kaget ditanya demikian. "Kamu ini kan kuda, sombong amat mengaku tampan. Kalau tanya jangan macam-macam!"  Gerutu Jon Balekon sambil "ngeloyor" pergi.

Jon  Balekon  lalu  pergi ke kandang ayam.  Eh, di situ ada  ayam  jantan sedang mengejar ayam betina. Benar-benar seru karena ayam betina ingin menghindar sementara sang jantan ingin menggaulinya. 

Melihat adegan itu, Jon Balekon tidak jadi ke  kandang ayam. Ia malu kalau ditanya oleh ayam apakah ia juga seperti mereka. Artinya, suka mengejar perempuan tanpa menghiraukan lingkungan. 

"Tiiidaaakkkkk,  aku tiiidakkk  mau  seperti  monyet, aku tidak mau seperti  kuda, tidak mau seperti  ayam.  Tidakkkkkk…………"  Jon Balekon protes  lalu  terbangun dari tidurnya.  Tersentak kaget.

L080992b/tsg/acc/20181010

Rabu, 06 Oktober 2010

Trouble Maker, Kritikus, Trouble Shooter

Dimana-mana ada tukang bikin problema. Di rumah, di antara tetangga, di kantor dan tidak luput pula di dalam negara. Ada yang sadar karena ambisi atau cita-citanya. Ada yang sekadar ikut-ikutan. Ada yang tidak sadar sama sekali bahwa ia termasuk problem maker atau trouble maker.

Contoh trouble maker di rumah adalah anak yang 'jahil' menggoda adiknya sehingga menangis. Sedangkan di antara tetangga, ada yang membuat trouble dengan, misalnya, membikin "isyu". Yugoslavia yang dulu tenang, sekarang ini semrawut dilanda perang separatis. Ini tentu ada yang menjadi trouble makernya.

Dimana-mana ada tukang kritik. Kritikus film, kritikus koran, kritikus politik dan kritikus macam-macam dengan bobot yang berbeda-beda. Tukang kritik amatiran level RT, misalnya , seringkali asal "clomet" tanpa didukung data yang berbobot "statistik". Audience, karena sungkan, biasanya mendengarkan saja walaupun dalam hati mengelus dada sambil berbicara dalam hati "berani benar orang ini, kerja tidak, bicara iya".

Lantas ada pula golongan yang disebut trouble shooter. Golongan yang jumlahnya sedikit ini dikatakan manusia pilihan. Mengapa ? Karena mereka dikenal panjang akal untuk mencari jalan keluar suatu masalah.

Dari pengamatan Jon Balekon, trouble maker jumlahnya lebih sedikit daripada kritikus. Trouble shooter juga demikian, lebih sedikit daripada kritikus. Hampir berimbang jumlah trouble maker dengan trouble shooter. Jadi yang banyak adalah tukang kritik, yang seringkali dijuluki NATO (No Action Talking Only) yang artinya bicara melulu tanpa kerja. Itulah komposisi manusia pada umumnya.

Trouble shooter tidak akan berfungsi kalau tidak ada trouble maker dan kritikus. Tukang kritik tidak akan berfungsi kalau semuanya sudah sempurna. Trouble maker tidak akan ada kalau dia tidak dibekali nafsu, yakni nafsu untuk mempermasalahkan masalah.

"Mengawinkan ketiganya - trouble maker, kritikus dan trouble shooter - dalam komposisi yang ideal adalah tindakan yang bijaksana karena akan bermanfaat. Jangan diredam. jangan dijauhi. Musik konser tidak akan enak didengar bilamana hanya ada satu nada suara atau satu jenis alat musik saja". Kata Mas Bagio, teman karib Jon Balekon, ketika Jon Balekon menceritakan hasil pengamatannya ini. Jon Balekon tidak menyanggah. "Lha wong kesimpulannya memang seperti itu". Pikirnya