Rabu, 10 Oktober 2018

Kebun Binatang Besar


Coba tengok manusia makan. Macam-macam caranya.  Ada yang lembut,  sopan seperti raja atau minimal seperti orang yang pernah hidup di  keraton  atau paling tidak pernah pernah ikut  sekolah pengembangan pribadi. Ada yang makannya berkecap-kecap, bersuara seperti kuda.  Ada yang kalau makan terlihat serius. Tidak menengok ke kiri atau kanan dan mata memelototi makanan seperti takut kehilangan sesuatu.

Coba kalau pernah menonton film biru yang menyuguhkan adegan manusia yang sedang berhubungan badan. Ada yang meraung-raung, berdesah-desah, menggigit-gigit, seperti binatang.  Sementara itu dalam agama, dalam  tatakrama leluhur, dan  hal  ini yang dilakukan oleh orang bijak sampai  saat ini, proses itu dilakukan dengan lembut, mantap dan dimulai dengan doa. Mereka percaya bahwa kegiatan ini adalah suci dan sakral karena berpengaruh pada kualitas bayi manusia yang boleh jadi akan dilahirkannya.

Coba  lihat manusia yang sedang sakit perut.  Ada  yang  wajahnya tidak  kentara walaupun sakitnya menyengat tiada tara.   Ada  yang mulutnya  bilang  "aduuh" dengan wajah  cemberut  kesakitan  dan membingungkan orang yang berada di sekelilingnya.

Coba  lihat manusia yang sedang berderet di sepanjang trotoar  di bawah  halte bus.  Ada yang wajahnya seram seperti  mau  melahap orang.  Ada yang wajahnya lembut bak orang tidak berdosa.  Ada yang tersenyum  seperti  tidak  ada derita.   Ada yang berwajah  susah seperti bebannya berat.

Coba  tengok  manusia yang akan meninggalkan  dunia  menuju  alam baka. Macam-macam  caranya.  Ada yang lembut,  seperti  tidak ada bedanya  antara hidup dan mati.  Ada yang matanya melotot,  mulut berbusa  seperti  ayam.   Ada yang  matinya  di tempat  tidur, tersenyum  simpul.  Ada yang matinya mengerikan  terpotong-potong seperti rajangan ayam.

Coba lihat manusia di kota yang sedang bertegang leher.   Mungkin karena serempetan mobil  atau sebab lainnya.  Ada  yang  bilang "anjing", ada yang bilang "babi".  Tidak ada yang bilang  "manusia". Tetapi di sisi lain, ada orang yang memang sengaja menghindari “tarik-urat”, apalagi berkelahi. Bisa jadi karena takut atau ada kemungkinan lain karena memang sengaja mengalah. Pada pikirannya mungkin tertera kalimat nasehat : “Tidak bermanfaat berdebat, tidak ada untungnya berkelahi”.

Coba lihat arena adu tinju. Bogem, swing, jab, saling peluk, di antara peluh  dan keringat, tiada henti-hentinya datang dan pergi.  Taufik  Ismail, seorang penyair, pernah  prihatin tentang hal ini. Katanya, penonton bersorak-sorai seperti melihat adu ayam saja  sementara para penjudi dag-dig-dug menunggu hasilnya.

Coba  lihat di Afrika.  Kelaparan yang menyebabkan  rupa  manusia bukan  lagi rupa manusia.  Kurus kering, tulang  bersembulan  tidak bisa  ditutup  oleh  kulit dan daging yang  tipis  kurang  makan itu.  Kasihan.  Sementara yang membagikan makanan bergerak lincah penuh vitalitas karena tidak pernah terlambat makan.

Coba lihat orang yang mencari rejeki.  Ada yang “makan sana  makan sini”, serakah, tidak tahu baik-buruk.  Kata orang  seperti babi,  tidak tahu bersih dan kotor.  Sebaliknya ada  yang  pelan, mantap.  Merintis dari sedikit, dari kecil.  Tidak lupa “kiri kanan”. Maksudnya ia berusaha memperhatikan “baik-buruknya”.

Itulah  beberapa  cukilan tentang penampilan manusia  dalam kehidupannya sehari-hari.  Ada yang  seperti manusia.  Ada yang seperti  “binatang  yang  bisa bicara”.  Dan  oleh sebab itu dunia ini boleh diibaratkan sebagai kebun binatang besar. Jon Balekon tersenyum sendiri merenung tentang hal ini. 

"Mudah-mudahan aku bukan  binatang.  Dan untuk itu aku berusaha untuk tidak"  Kata hati Jon Balekon.

Jon  Balekon  pun  lantas  tertidur.   Ia  bermimpi   mengunjungi Kebun Binatang Ragunan.  Banyak sekali binatang di sana.   Memang pada yang postur tubuh dan wajahnya mirip dengan manusia.   Itulah monyet.  

"Apakah  kamu monyet seperti saya Jon ?  "  Tanya sang monyet.  

"Ah ya tidak to nyet.  Coba lihat saya tidak berbunyi nguk-nguk  seperti  kamu.   Coba  lihat  saya  bisa  bebas  tidak dikerangkeng  seperti kamu"  Jawab Jon Balekon lalu  pergi,  agak sebal dan tersinggung ditanya seperti itu. "Jon, jon,  kamu koq tersinggung sama monyet sih ?" Tanya hatinya yang lain.

Jon Balekon lalu pindah ke kandang kuda.  Kuda itu sedang makan dengan lahapnya.  Matanya terlihat melotot serius. Melihat Jon Balekon menghampiri,  sang  kuda  berhenti makan.  Sang kuda kemudian tersenyum, mengenalkan diri dan bertanya "Jon, saya ini kuda. Saya masuk ke kebun binatang ini karena saya lulus kontes kuda tampan se Jawa. Hei Jon, apakah kamu kalau makan seperti aku .... ?" 

Jon Balekon  kaget ditanya demikian. "Kamu ini kan kuda, sombong amat mengaku tampan. Kalau tanya jangan macam-macam!"  Gerutu Jon Balekon sambil "ngeloyor" pergi.

Jon  Balekon  lalu  pergi ke kandang ayam.  Eh, di situ ada  ayam  jantan sedang mengejar ayam betina. Benar-benar seru karena ayam betina ingin menghindar sementara sang jantan ingin menggaulinya. 

Melihat adegan itu, Jon Balekon tidak jadi ke  kandang ayam. Ia malu kalau ditanya oleh ayam apakah ia juga seperti mereka. Artinya, suka mengejar perempuan tanpa menghiraukan lingkungan. 

"Tiiidaaakkkkk,  aku tiiidakkk  mau  seperti  monyet, aku tidak mau seperti  kuda, tidak mau seperti  ayam.  Tidakkkkkk…………"  Jon Balekon protes  lalu  terbangun dari tidurnya.  Tersentak kaget.

L080992b/tsg/acc/20181010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar