Coba
tengok manusia makan. Macam-macam caranya.
Ada yang lembut, sopan seperti
raja atau minimal seperti orang yang pernah hidup di keraton
atau paling tidak pernah pernah ikut
sekolah pengembangan pribadi. Ada yang makannya berkecap-kecap, bersuara
seperti kuda. Ada yang kalau makan
terlihat serius. Tidak menengok ke kiri atau kanan dan mata memelototi makanan
seperti takut kehilangan sesuatu.
Coba
kalau pernah menonton film biru yang menyuguhkan adegan manusia
yang sedang berhubungan badan. Ada yang meraung-raung, berdesah-desah,
menggigit-gigit, seperti binatang.
Sementara itu dalam agama, dalam
tatakrama leluhur, dan hal ini yang dilakukan oleh orang bijak
sampai saat ini, proses itu dilakukan
dengan lembut, mantap dan dimulai dengan doa. Mereka percaya bahwa kegiatan ini
adalah suci dan sakral karena berpengaruh pada kualitas bayi manusia yang boleh
jadi akan dilahirkannya.
Coba lihat manusia yang sedang sakit perut. Ada
yang wajahnya tidak kentara walaupun sakitnya menyengat tiada
tara. Ada yang mulutnya
bilang "aduuh" dengan
wajah cemberut kesakitan
dan membingungkan orang yang berada di sekelilingnya.
Coba lihat manusia yang sedang berderet di
sepanjang trotoar di bawah halte bus.
Ada yang wajahnya seram seperti
mau melahap orang. Ada yang wajahnya lembut bak orang tidak
berdosa. Ada yang tersenyum seperti
tidak ada derita. Ada yang berwajah susah seperti bebannya berat.
Coba tengok
manusia yang akan meninggalkan
dunia menuju alam baka. Macam-macam caranya.
Ada yang lembut, seperti tidak ada bedanya antara hidup dan mati. Ada yang matanya melotot, mulut berbusa
seperti ayam. Ada yang
matinya di tempat tidur, tersenyum simpul.
Ada yang matinya mengerikan
terpotong-potong seperti rajangan ayam.
Coba
lihat manusia di kota yang sedang bertegang leher. Mungkin karena serempetan mobil atau sebab lainnya. Ada
yang bilang "anjing",
ada yang bilang "babi". Tidak
ada yang bilang "manusia".
Tetapi di sisi lain, ada orang yang memang sengaja menghindari “tarik-urat”,
apalagi berkelahi. Bisa jadi karena takut atau ada kemungkinan lain karena
memang sengaja mengalah. Pada pikirannya mungkin tertera kalimat nasehat :
“Tidak bermanfaat berdebat, tidak ada untungnya berkelahi”.
Coba
lihat arena adu tinju. Bogem, swing, jab, saling peluk, di antara peluh dan keringat, tiada henti-hentinya datang dan
pergi. Taufik Ismail, seorang penyair, pernah prihatin tentang hal ini. Katanya, penonton
bersorak-sorai seperti melihat adu ayam saja
sementara para penjudi dag-dig-dug menunggu hasilnya.
Coba lihat di Afrika. Kelaparan yang menyebabkan rupa
manusia bukan lagi rupa
manusia. Kurus kering, tulang bersembulan
tidak bisa ditutup oleh
kulit dan daging yang tipis kurang
makan itu. Kasihan. Sementara yang membagikan makanan bergerak
lincah penuh vitalitas karena tidak pernah terlambat makan.
Coba
lihat orang yang mencari rejeki. Ada
yang “makan sana makan sini”, serakah,
tidak tahu baik-buruk. Kata orang seperti babi,
tidak tahu bersih dan kotor.
Sebaliknya ada yang pelan, mantap. Merintis dari sedikit, dari kecil. Tidak lupa “kiri kanan”. Maksudnya ia
berusaha memperhatikan “baik-buruknya”.
Itulah beberapa
cukilan tentang penampilan manusia
dalam kehidupannya sehari-hari.
Ada yang seperti manusia. Ada yang seperti “binatang
yang bisa bicara”. Dan
oleh sebab itu dunia ini boleh diibaratkan sebagai kebun binatang besar.
Jon Balekon tersenyum sendiri merenung tentang hal ini.
"Mudah-mudahan
aku bukan binatang. Dan untuk itu aku berusaha untuk
tidak" Kata hati Jon Balekon.
Jon Balekon
pun lantas tertidur.
Ia bermimpi mengunjungi Kebun Binatang Ragunan. Banyak sekali binatang di sana. Memang pada yang postur tubuh dan wajahnya
mirip dengan manusia. Itulah
monyet.
"Apakah kamu monyet seperti saya Jon ? "
Tanya sang monyet.
"Ah
ya tidak to nyet. Coba lihat saya tidak
berbunyi nguk-nguk seperti kamu.
Coba lihat saya
bisa bebas tidak dikerangkeng seperti kamu" Jawab Jon Balekon lalu pergi,
agak sebal dan tersinggung ditanya seperti itu. "Jon, jon, kamu koq tersinggung sama monyet sih ?"
Tanya hatinya yang lain.
Jon
Balekon lalu pindah ke kandang kuda.
Kuda itu sedang makan dengan lahapnya.
Matanya terlihat melotot serius. Melihat Jon Balekon menghampiri, sang
kuda berhenti makan. Sang kuda kemudian tersenyum, mengenalkan
diri dan bertanya "Jon, saya ini kuda. Saya masuk ke kebun binatang ini
karena saya lulus kontes kuda tampan se Jawa. Hei Jon, apakah kamu kalau makan
seperti aku .... ?"
Jon
Balekon kaget ditanya demikian.
"Kamu ini kan kuda, sombong amat mengaku tampan. Kalau tanya jangan
macam-macam!" Gerutu Jon Balekon
sambil "ngeloyor" pergi.
Jon Balekon
lalu pergi ke kandang ayam. Eh, di situ ada ayam
jantan sedang mengejar ayam betina. Benar-benar seru karena ayam betina
ingin menghindar sementara sang jantan ingin menggaulinya.
Melihat adegan itu,
Jon Balekon tidak jadi ke kandang ayam.
Ia malu kalau ditanya oleh ayam apakah ia juga seperti mereka. Artinya, suka
mengejar perempuan tanpa menghiraukan lingkungan.
"Tiiidaaakkkkk, aku tiiidakkk
mau seperti monyet, aku tidak mau seperti kuda, tidak mau seperti ayam. Tidakkkkkk…………" Jon Balekon protes lalu
terbangun dari tidurnya.
Tersentak kaget.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar